Laporan terbaru mengungkapkan bahwa intelijen Pakistan, khususnya Inter-Services Intelligence (ISI), diduga terlibat dalam pendanaan dan radikalisasi pengungsi Rohingya yang berada di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh. Pengungsi Rohingya, yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar, kini menghadapi ancaman baru berupa infiltrasi kelompok radikal yang berpotensi memperburuk situasi kemanusiaan di kawasan tersebut.
Intelijen Pakistan dituduh memanfaatkan ketidakstabilan dan kondisi putus asa para pengungsi untuk merekrut anggota baru bagi kelompok-kelompok ekstremis. Beberapa laporan menyebutkan bahwa kamp pengungsian Cox’s Bazar, yang menampung lebih dari satu juta pengungsi Rohingya, menjadi tempat strategis bagi penyebaran ideologi radikal. Dengan memberikan dukungan keuangan dan logistik, ISI diduga mendorong kelompok-kelompok radikal untuk memperluas pengaruhnya di kalangan pengungsi.
Radikalisasi di kamp-kamp pengungsian ini menimbulkan kekhawatiran global, terutama bagi pemerintah Bangladesh. Pemerintah khawatir bahwa aktivitas ini dapat memicu ketidakstabilan di dalam negeri, serta mengancam keamanan regional. Selain itu, radikalisasi juga memperumit upaya repatriasi pengungsi Rohingya ke Myanmar, karena keberadaan kelompok ekstremis dapat menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat Myanmar, yang sudah sensitif terhadap isu etnisitas dan agama.
Selain itu, pengaruh intelijen Pakistan juga memperkeruh hubungan diplomatik Bangladesh dan Pakistan. Bangladesh, yang sudah lama menjadi sekutu dalam perang melawan terorisme, menentang segala bentuk intervensi yang memperburuk situasi pengungsi Rohingya.
Untuk menghadapi masalah ini, Bangladesh telah meningkatkan pengawasan di kamp-kamp pengungsian dan berkoordinasi dengan komunitas internasional untuk memantau potensi penyebaran radikalisme. Dalam jangka panjang, penanganan krisis Rohingya memerlukan solusi menyeluruh yang mencakup keamanan, bantuan kemanusiaan, dan pemulihan kondisi stabil di Myanmar, guna mencegah radikalisasi lebih lanjut.